Clipart

..................................................................................................TO INVIDA..........................................................................................

Senin, 19 Juli 2010

4 Tahun Lagi, Kita Harus Bayar Nonton Piala Dunia?


BULAN Juni 1998. Indonesia baru saja punya presiden baru. Habibie belum genap sebulan menggantikan Soeharto yang berkuasa 32 tahun. Baru sebulan kita mengalami kerusuhan besar di Jakarta dan kota sekitar, serta Solo. Krisis moneter (yang mempopulerkan istilah Krismon) sudah berlangsung sejak pertengahan tahun sebelumnya dan tengah membelit kita sampai ke ubun-ubun.

Tapi di bulan Juni 1998 itu kita sedkit terhibur oleh gelaran Piala Dunia yang berlangsung di Prancis. Dari 10 Juni sampai 13 Juli kita menyaksikan pesta akbar sepak bola di 6 stasiun TV berbeda, TVRI, RCTI, SCTV, antv (ketika itu namanya masih ANTeve), TPI, dan Indosiar. Ke-6 stasiun TV itu bergantian menayangkan seluruh pertandingan, dari awal sampai final. Boleh dikata, pertandingan bola Piala Dunia saat itu bisa sedikit mengobati kepenatan hidup yang baru diburai kerusuhan, ekonomi yang morat-marit, hingga politik elit yang tak menentu gara-gara baru ganti presiden.

Kita harus berterimakasih pada stasiun TV yang berbaik hati membeli hak siar Piala Dunia saat itu karena kita tahu harganya tak murah (untuk ukuran masa itu). Kemudian negeri juga sedang diguncang krismon. Perusahaan banyak yang tiarap atau gulung tikar waktu itu lantaran kurs dolar AS melejit tinggi.

Menurut kabar, harga hak siar Piala Dunia 1998 senilai $320 ribu. Agar beban makin ringan, harga itu ditanggung bersama 6 stasiun TV. Artinya, masing-masing stasiun TV membayar $53 ribu (D&R, 20 Juni 1998).

Menginjak 2002, harga hak siar Piala Dunia naik berlipat-lipat. Stasiun TV harus merogoh koceknya dalam-dalam karena harganya sudah naik jadi $5 juta. Harga sebesar itu sempat membuat stasiun TV dan pengiklan geleng-geleng. Tapi toh dibeli juga. Kita bisa menontonnya dengan gratis.

Empat tahun berikutnya, Piala Dunia 2006 di Jerman, SCTV mendapat hak siar eksklusif. Kabarnya waktu itu, SCTV harus membayar harga hak siar yang sudah naik 100 persen jadi $10 juta atau dengan kurs saat itu Rp 100 miliar. Toh SCTV sanggup membelinya dan kita bisa menontonnya gratis.

Piala Dunia memang bukan tontonan murah. FIFA, selaku penyelenggara, sadar betul hal ini. Makanya, setiap kali ada Piala Dunia harga hak siarnya pasti naik. Begitu pun Piala Dunia 2010 yang baru usai kemarin.

Untuk pertama kalinya, hak siar Piala Dunia tak dipegang stasiun TV, melainkan sebuah usaha ritel barang elektronik. Electronic City Entertainment (ECE), anak usaha Electronic City Indonesia, memperoleh hak siar sejak Juni 2007, atau setahun setelah Piala Dunia 2006 usai.

Dari bisik-bisik di kalangan awak TV, hampir semua stasiun TV mengajukan diri membeli hak siar Piala Dunia. Hanya saja, setelah tahu harganya naik berlipat-lipat dari gelaran sebelumnya, stasiun TV mundur teratur.

Besaran angka Piala Dunia kali ini memang luar biasa besar. Ada yang bilang bila dirupiahkan angkanya di kisaran Rp500-Rp 1 triliun. Jumlah itu naik 4,5 kali lipat Piala Dunia 2006.         

Logis bila mengatakan Piala Dunia 2014 di Brasil harga hak siarnya pasti naik lebih tinggi lagi. Jika diambil Rp1 triliun sebagai patokan, naik 2 kali lipat saja angkanya berarti Rp 2 triliun.


http://www.tabloidbintang.com/world-cup/serba-serbi/4309-4-tahun-lagi-kita-harus-bayar-nonton-piala-dunia.html

Tidak ada komentar:

Posting Komentar