Clipart

..................................................................................................TO INVIDA..........................................................................................

Selasa, 20 Juli 2010

Mengatasi Kesulitan Ekonomi

PEREKONOMIAN kita bergerak ke arah yang merisaukan. Itulah pandangan para ahli dan mantan menteri perekonomian dalam melihat perkembangan akhir-akhir ini.

Ada imbauan agar pemerintah dan birokrat di dalamnya harus mengubah perilaku agar bisa lebih mendorong percepatan pertumbuhan ekonomi. Langkah ini penting agar mereka bisa melakukan terobosan dan inovasi dalam menciptakan lapangan pekerjaan sehingga bisa mengurangi jurang antara yang kaya dan yang miskin.

Beberapa analis dan akademisi mengkaji, kondisi ekonomi yang terpuruk saat ini karena pilihan arah ekonomi sejak era Reformasi. Sebagai gambaran, ekonom Hendri Saparini mencatat, Pertama, sumber daya alam (SDA) yang tidak diprioritaskan untuk kepentingan nasional dan semakin dikuasai asing. Menurut UU Penanaman Modal tahun 2007, asing bahkan diperbolehkan mengusai hingga 95%.

Kita harus melihat permasalahan ini dengan lebih jernih karena pada dasarnya penyerahan penguasaan SDA kepada asing telah dicontohkan sejak awal Orde Baru (Orba), yakni pada 1967 pemerintah menyerahkan pengelolaan Freeport kepada asing.

Apabila para pengambil kebijakan Orba menganggap langkah itu adalah kesalahan, semestinya pada 1992 tidak dilakukan percepatan perpanjangan kontrak karya Freeport tanpa koreksi yang lebih berpihak kepada kepentingan nasional. Tak heran bila penyerahan penguasaan SDA kepada asing berlanjut hingga kini.

Kedua, saat ini Indonesia menghadapi beban utang publik semakin berat. Meskipun rasio utang terhadap PDB menurun, tetapi total utang semakin besar.

Pada April 2010 telah mencapai Rp1,015 triliun untuk utang dalam negeri, dan Rp573 triliun (US$63,54 miliar) untuk utang luar negeri. Padahal, sebelum krisis 1997, utang pemerintah hanya US$74 miliar. Namun, apabila mau jujur, praktik pembiayaan pembangunan dengan mengandalkan utang sebenarnya telah dipraktikkan selama Orba. Hanya kemudian, para menteri ekonomi penerus melanjutkannya dengan percepatan penarikan utang yang luar biasa.

Ketiga, liberalisasi keuangan, industri dan perdagangan juga telah dilakukan jauh sebelum krisis 1997. Bahkan berbeda dengan negara-negara Asia lain, seperti China, Jepang, dan Korea, yang menempatkan liberalisasi keuangan pada urutan paling akhir, Indonesia justru memprioritaskan liberalisasi keuangan sebelum membangun industri domestik yang tangguh.

Dengan Pakto 88 (Paket Kebijakan tahun 1988), berbagai liberalisasi dimulai, seperti diperbolehkannya untuk membuka bank baru hanya dengan modal Rp10 miliar, bank-bank asing lama ataupun baru diberi kemudahan membuka cabang, bentuk patungan antarbank asing dengan bank swasta nasional diizinkan, rasio kecukupan modal bank lokal diturunkan dari 15% menjadi 2%, dsb.

Sangat wajar apabila saat ini sektor keuangan Indonesia menjadi sangat liberal. Tidak adanya kontrol terhadap modal jangka pendek, misalnya, telah mengakibatkan sektor keuangan rapuh karena tingginya kepemilikan asing pada surat utang negara (SUN) ataupun SBI.

Percepatan liberalisasi di sektor perbankan juga terus dilakukan, misalnya melalui Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 111 Tahun 2007 yang memberikan peluang bagi asing untuk menguasai hingga 99% saham perbankan nasional.

Apabila dikaji lebih jauh masih banyak kebijakan ekonomi yang mengakibatkan keterpurukan ekonomi saat ini, yang sebenarnya telah diawali pada masa Orba. Sejatinya kebijakan ekonomi era reformasi hingga era saat ini masih merupakan lanjutan dari arah kebijakan ekonomi Orba. Mungkin peribahasa ”bagaimana biduk, bagaimana pengayuh” tepat untuk menggambarkannya, yang berarti bagaimana pilihan kebijakan orangtua, begitulah pilihan anaknya.

Karena itu muncul kerisauan di atas. Kerisauan ini disebabkan program ekonomi pemerintah saat ini yang dijalankan dengan koordinasi yang buruk antarkementerian dan kepemimpinan yang lemah membuat roh pembangunan untuk rakyat hilang. Jurang masyarakat kaya dan miskin pun semakin melebar.

Karena itu, pemerintah dan birokrat di dalamnya harus mengubah perilaku untuk lebih mempercepat pertumbuhan ekonomi. Mereka harus berjiwa penerobos dan berkreasi menjalankan kebijakan yang mampu menciptakan lapangan kerja.

Namun, yang terpenting dari itu semua, adalah penegakan hukum. Tanpa penegakan hukum, iklim usaha tetap sulit kondusif. [mor]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar